Rabu, 14 Maret 2012

Sebungkus Nasi Kucing Keadilan


Sebungkus Nasi Kucing “Keadilan”

Sebungkus nasi kucing bagi rakyat jelata sudah cukup untuk mengenyangkan perut mereka. Dengan uang seribu rupiah saja, siapapun sudah dapat membelinya. Hanya sebungkus saja sudah bisa menyambung hidup di tengah kerasnya kehidupan. Bukan janji-janji manis untuk memajukan kehidupan rakyat kecil tetapi hanya sebungkus nasi. Bukan omongan manis tentang keindahan demokrasi melainkan segelumit keadilan bagi rakyat kecil yang tertindas. Bagaimana nasib perut rakyat kecil jika uang rakyat hanya untuk mengenyangkan kaum-kaum elite politik?
Merebaknya tindak korupsi, wacana kenaikan BBM, pilu pemilu yang tidak membawa perubahan dan penyelewengan kekuasaan yang terjadi pada aparat pemerintahan sudah cukup membuat rakyat pusing. Dalam kondisi itu dipertanyakan kembali “Dimana eksistensi keadilan bagi rakyat?” Sudah banyak contoh keadilan yang dipermainkan oleh para wakil rakyat. Kasihan jika rakyat hanya terus menerus menjadi permainan. Katanya negara demokrasi yang berlandasan pada keadilan tetapi kok instrumen keadilan dan demokrasi disalahgunakan.
Seperti sebungkus nasi kucing, di dalamnya ada nasi, sambal dan aneka lauk-pauk yang dijual murah. Sewajarnya bahwa keadilan juga dijual murah kepada rakyat seperti nasi kucing. Keadilan itu ditegakkan melalui wakil-wakil rakyat yang menyalurkan aspirasi rakyat bukannya menimbun kekayaan dengan topeng sebagai wakil rakyat. Seperti yang dikatakan Abraham Lincoln tentang demokrasi, “Democracy is government of the people, by the people, and for the people.” Pemerintahan atas nama rakyat, di tangan rakyat dan atas kehendak rakyat bukan pemerintahan di tanganku, atas namaku dan demi diriku. Jika yang terjadi seperti itu demokrasi sebagai sarana menegakkan keadilan hanya dijadikan sebagai sarana pelampiasan ego tanpa memandang nasib orang lain. Demokrasi sebagai sebuah instrumen penegak keadilan memiliki unsur-unsur yang harus dipegang dalam penegakkannya yaitu kebebasan, persamaan, solidaritas, toleransi, kejujuran, penalaran, dan keadaban.
Kebebasan untuk menyalurkan aspirasi sebagai sebuah bentuk keterlibatan dalam membangun negara harus senantiasa diterapkan. Aspirasi itu bermanfaat bagi kepentingan bersama yang disampaikan oleh seluruh rakya di pelosok Indonesia. Aspirasi itu juga diterima tanpa pandang bulu sehingga ada persamaan hak dalam berpendapat. Bukan hanya kaum-kaum elite politik dan para cendekiawan saja yang bisa mengeluarkan aspirasi tetapi seorang tukang becak pun bisa dan berhak untuk berpendapat demi kepentingan bersama. Mungkin aspirasi yang diberikan itu tidak semuanya harus diterapkan secara mutlak tetapi aspirasi itu bisa menjadi sebuah pertimbangan untuk membuat kebijakan yang lebih merakyat.
Dalam penampungan aspirasi itu hendaknya juga disertai rasa solidaritas dan toleransi. Perbedaa akan selalu muncul dalam sebuah sistem demokrasi. Maka dari itu dibutuhkan sikap toleransi untuk menerima perbedaan tersebut. Bukan malah marah ketika ada aspirasi yang berupa kritik yang pedas dan kemudian mempermasalahkannya sebagai kasu pencemaran nama baik. Aspirasi yang masuk itu hendaknya diterima dengan lapang dada karena aspirasi itu bisa digunakan sebagai sarana berefleksi untuk menuju perubahan yang lebih baik. Wakil rakyat juga dituntut kesediaannya untuk memperhatikan kepentingan bersama bukan hanya kepentingan pribadi dan bekerja sama dengan orang lain dalam melaksanakan tugasnya. Misalnya dalam kasus pembelian kursi Banggar DPR dengan biaya selangit yang diluar logika, biaya sebesar itu tak patut digunakan hanya untuk membeli kursi. Selain itu dalam proses pembeliannya dapat menggunakan produk dalam negeri yang sama kualitasnya dan harganya lebih murah sehingga turut memberdayakan para pengusaha dalam negeri.
Nilai yang sangat penting dan saat ini sangat memprihatinkan keadaanya adalah nilai kejujuran dan keadaban. Melihat berbagai masalah yang ada dalam tubuh pemerintahan saat ini yang mulai kehilangan kejujuran dan keadabannya sungguh membuat miris hati. Kejujuran sudah bisa dibeli dengan uang dan digantikan dengan korupsi. Budi pekerti sudah digantikan dengan budaya materialistis sehingga beberapa oknum wakil rakyat tanpa beban mengeruk uang rakyat. Korupsi sudah merajalela bahkan eksistensi kejujuran dan budi pekerti dipertanyakan pada pribadi para wakil rakyat. Kasus-kasus korupsi sudah menjamur seperti kasus pembangunan Wisma Atlet Palembang, kasus cek perjalanan terkait pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI, kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran di Riau, dll. Itulah cerminan degradasi nilai yang sedang menjadi wabah penyakit berbahaya di kalangan wakil rakyat. Mau dibawa kemana kejujuran dan budi pekerti?
Sebungkus nasi kucing bisa mengenyangkan perut yang lapar. Segelumit keadilan dapat menyenangkan hati rakyat yang terluka dan sengsara. Apakah anda tergerak untuk memberikan sebungkus nasi kucing “keadilan” bagi rakyat yang kelaparan? Atau anda akan membiarkan rakyat mati dalam kelaparan keadilan yang membelit bangsa Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar