Sebungkus Nasi Kucing “Keadilan”
Sebungkus
nasi kucing bagi rakyat jelata sudah cukup untuk mengenyangkan perut mereka.
Dengan uang seribu rupiah saja, siapapun sudah dapat membelinya. Hanya
sebungkus saja sudah bisa menyambung hidup di tengah kerasnya kehidupan. Bukan
janji-janji manis untuk memajukan kehidupan rakyat kecil tetapi hanya sebungkus
nasi. Bukan omongan manis tentang keindahan demokrasi melainkan segelumit
keadilan bagi rakyat kecil yang tertindas. Bagaimana nasib perut rakyat kecil
jika uang rakyat hanya untuk mengenyangkan kaum-kaum elite politik?
Merebaknya
tindak korupsi, wacana kenaikan BBM, pilu pemilu yang tidak membawa perubahan
dan penyelewengan kekuasaan yang terjadi pada aparat pemerintahan sudah cukup
membuat rakyat pusing. Dalam kondisi itu dipertanyakan kembali “Dimana
eksistensi keadilan bagi rakyat?” Sudah banyak contoh keadilan yang
dipermainkan oleh para wakil rakyat. Kasihan jika rakyat hanya terus menerus
menjadi permainan. Katanya negara demokrasi yang berlandasan pada keadilan
tetapi kok instrumen keadilan dan demokrasi disalahgunakan.
Seperti
sebungkus nasi kucing, di dalamnya ada nasi, sambal dan aneka lauk-pauk yang
dijual murah. Sewajarnya bahwa keadilan juga dijual murah kepada rakyat seperti
nasi kucing. Keadilan itu ditegakkan melalui wakil-wakil rakyat yang
menyalurkan aspirasi rakyat bukannya menimbun kekayaan dengan topeng sebagai
wakil rakyat. Seperti yang dikatakan Abraham Lincoln tentang demokrasi, “Democracy is government of the people, by
the people, and for the people.” Pemerintahan atas nama rakyat, di tangan
rakyat dan atas kehendak rakyat bukan pemerintahan di tanganku, atas namaku dan
demi diriku. Jika yang terjadi seperti itu demokrasi sebagai sarana menegakkan
keadilan hanya dijadikan sebagai sarana pelampiasan ego tanpa memandang nasib
orang lain. Demokrasi sebagai sebuah instrumen penegak keadilan memiliki
unsur-unsur yang harus dipegang dalam penegakkannya yaitu kebebasan, persamaan,
solidaritas, toleransi, kejujuran, penalaran, dan keadaban.
Kebebasan
untuk menyalurkan aspirasi sebagai sebuah bentuk keterlibatan dalam membangun
negara harus senantiasa diterapkan. Aspirasi itu bermanfaat bagi kepentingan
bersama yang disampaikan oleh seluruh rakya di pelosok Indonesia. Aspirasi itu
juga diterima tanpa pandang bulu sehingga ada persamaan hak dalam berpendapat.
Bukan hanya kaum-kaum elite politik dan para cendekiawan saja yang bisa
mengeluarkan aspirasi tetapi seorang tukang becak pun bisa dan berhak untuk
berpendapat demi kepentingan bersama. Mungkin aspirasi yang diberikan itu tidak
semuanya harus diterapkan secara mutlak tetapi aspirasi itu bisa menjadi sebuah
pertimbangan untuk membuat kebijakan yang lebih merakyat.
Dalam
penampungan aspirasi itu hendaknya juga disertai rasa solidaritas dan
toleransi. Perbedaa akan selalu muncul dalam sebuah sistem demokrasi. Maka dari
itu dibutuhkan sikap toleransi untuk menerima perbedaan tersebut. Bukan malah
marah ketika ada aspirasi yang berupa kritik yang pedas dan kemudian
mempermasalahkannya sebagai kasu pencemaran nama baik. Aspirasi yang masuk itu
hendaknya diterima dengan lapang dada karena aspirasi itu bisa digunakan
sebagai sarana berefleksi untuk menuju perubahan yang lebih baik. Wakil rakyat juga
dituntut kesediaannya untuk memperhatikan kepentingan bersama bukan hanya
kepentingan pribadi dan bekerja sama dengan orang lain dalam melaksanakan
tugasnya. Misalnya dalam kasus pembelian kursi Banggar DPR dengan biaya
selangit yang diluar logika, biaya sebesar itu tak patut digunakan hanya untuk
membeli kursi. Selain itu dalam proses pembeliannya dapat menggunakan produk
dalam negeri yang sama kualitasnya dan harganya lebih murah sehingga turut
memberdayakan para pengusaha dalam negeri.
Nilai
yang sangat penting dan saat ini sangat memprihatinkan keadaanya adalah nilai
kejujuran dan keadaban. Melihat berbagai masalah yang ada dalam tubuh
pemerintahan saat ini yang mulai kehilangan kejujuran dan keadabannya sungguh
membuat miris hati. Kejujuran sudah bisa dibeli dengan uang dan digantikan
dengan korupsi. Budi pekerti sudah digantikan dengan budaya materialistis
sehingga beberapa oknum wakil rakyat tanpa beban mengeruk uang rakyat. Korupsi
sudah merajalela bahkan eksistensi kejujuran dan budi pekerti dipertanyakan
pada pribadi para wakil rakyat. Kasus-kasus korupsi sudah menjamur seperti
kasus pembangunan Wisma Atlet Palembang, kasus cek perjalanan terkait pemilihan
Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI, kasus pengadaan mobil
pemadam kebakaran di Riau, dll. Itulah cerminan degradasi nilai yang sedang
menjadi wabah penyakit berbahaya di kalangan wakil rakyat. Mau dibawa kemana kejujuran
dan budi pekerti?
Sebungkus
nasi kucing bisa mengenyangkan perut yang lapar. Segelumit keadilan dapat
menyenangkan hati rakyat yang terluka dan sengsara. Apakah anda tergerak untuk
memberikan sebungkus nasi kucing “keadilan” bagi rakyat yang kelaparan? Atau
anda akan membiarkan rakyat mati dalam kelaparan keadilan yang membelit bangsa
Indonesia?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar